Minggu, 09 Juni 2013

Mengusir Momok Matematika pada Anak


Gurat kecewa dan sedih tampak jelas di wajah Fia, 8 tahun. Penyebabnya, siswi kelas 2 di sebuah sekolah dasar di Kota Surabaya, Jawa Timur, itu baru saja menerima hasil ulangan mata pelajaran matematika. Dengan tak bersemangat, dia pun memberikan hasil ulangan itu kepada sang bunda. Ketika melihat nilai yang tertera pada kertas ulangan itu, sang ibu pun merasa kecewa. “Merah lagi,” ujarnya di dalam hati. Meski kecewa, sang ibu berusaha tetap membesarkan hati buah hatinya itu.
“Katanya mau jadi insinyur, kok matematikanya hanya dapat lima. Jangan malas belajar ya,” ujarnya. Sembari mengangguk lemah, Fia pun berlalu dari hadapan sang ibu. Sebenarnya, selain melaporkan hasil ulangan, Fia ingin meminta bantuan ibunya untuk mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR) matematika. Namun, niat itu diurungkannya karena khawatir ibunya yang sudah seharian bekerja bersikap tidak sabar ketika mengajari materi-materi dalam pelajaran matematika. Akhirnya, dia berusaha untuk mengerjakan PR itu sendiri.

Hasilnya memang sangat tidak maksimal. Dari 10 soal, Fia hanya mampu menjawab dua soal, itu pun belum tentu benar. Fia merasa, jangankan untuk menjawabnya, untuk mengerti arah pertanyaan soal itu saja dia tidak paham. Kesulitan yang dialami Fia ternyata dialami pula oleh sejumlah temannya di sekolah. Bisa jadi kondisi itu dirasakan pula oleh banyak anak SD di beberapa wilayah di Tanah Air.

Bukan rahasia lagi jika matematika yang merupakan salah satu ilmu dasar dari ilmu-ilmu eksakta lainnya dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit bagi sebagian besar anak. Bahkan, kerap kali bidang studi yang satu itu menjadi momok bagi mereka. Menurut Rudi Cahyono, pakar psikologi anak dari Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Surabaya, matematika sebagai objek abstrak yang mati bisa menimbulkan rasa takut pada anak, seperti objek yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari semisal sabuk dan air.
“Benda-benda tersebut baru menimbulkan efek menakutkan ketika dilekatkan dengan pengalaman tertentu,” kata Rudi. Lebih lanjut,dia memaparkan, seorang anak bisa merasa takut melihat sabuk karena sering dihukum oleh orang tuanya dengan pukulan menggunakan sabuk. Bisa jadi pula anak takut pada air karena pernah terpeleset akibat menginjak genangan air atau tenggelam di kolam renang.
Kejadian itu dapat menyebabkan anak kaget dan terluka, bahkan trauma terhadap objek air tersebut. “Pada matematika, bisa saja si anak pernah trauma karena saat diminta maju untuk mengerjakan soal matematika di depan kelas, kebetulan dia tidak bisa menjawabnya sehingga mendapat teguran yang sifatnya tidak konstruktif dan diolok-olok teman- temannya. Bisa pula si anak sering dihukum oleh orang tua karena nilai matematikanya jelek,” jelas Rudi.
Menurut Rudi, ada beberapa komponen yang bisa berperan dalam pembentukan citra matematika pada benak seorang anak, di antaranya materi matematika, guru sebagai penyampai pelajaran, dan suasana belajar. Terkait dengan materi, tambah dia, matematika selalu identik dengan berhitung, padahal pelajaran itu mengakomodasi dua hal, yaitu berhitung dan berlogika. Dalam berlogika, tercakup logika ruang, logika bahasa, dan logika hitung.
Fokus yang berlebihan pada berhitung itu mendatangkan rasa sempit atas pilihan yang diberikan oleh matematika. Penyempitan tersebut diperparah dengan terbiasanya manusia lebih mengembangkan otak kiri sebagai tempat berpikir logika dan matematika. Kebiasaan menggunakan otak kiri juga mempersempit matematika dengan cara berpikirnya yang analisis serta linear sekuensial. Cara berpikir seperti itu menuntut kedisiplinan, ketelitian, dan ketajaman.
Fokus pada cara kerja otak kiri itu tentu saja akan membuat lelah, dan untuk beberapa anak dapat mendatangkan kejenuhan. Secara substantif, apabila dihubungkan dengan keyakinan anak pada matematika serta perlakuan ketika belajar di sekolah, anak akan merasa monoton, bosan, tidak tertarik, dan terkuras tenaganya.
Libatkan Otak Kanan
Hal itu sudah pasti memengaruhi minat anak-anak terhadap matematika. Padahal, anak memiliki kebutuhan untuk bermain dan bersenang-senang. Seni dan emosi berada di wilayah kerja otak kanan. Oleh karena itu, akan lebih menyenangkan jika pembelajaran matematika juga melibatkan otak kanan dengan mengaitkannya pada suatu hal yang menyenangkan. “Ujung dari sifat matematika adalah tuntutan pengembangan kreativitas dalam proses belajarnya.
Mengubah mindset tentang matematika merupakan hal yang terpenting,” ujar Rudi. Belakangan ini, banyak ditemui lembaga yang mengajarkan pelibatan otak kanan untuk pembelajaran matematika. Metode pembelajarannya kerap kali melibatkan berbagai metode bantu, seperti kuantum dan jari pintar. Metode bantu itu sebenarnya menggunakan otak kiri, namun memadukannya dengan bermain dan menggambar yang mengikutsertakan otak kanan.
Mengenai metode belajar matematika, Kepala Seksi Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Jawa Timur, Nuryanto, mengatakan pihaknya hanya menetapkan kurikulum pelajaran. “Metode penyampaian sepenuhnya kami serahkan kepada sekolah dan guru,” ujar dia. Selain metode pembelajaran, faktor yang dapat memengaruhi minat murid dalam mempelajari matematika ialah guru.
Guru seharusnya menjadi teman belajar yang ramah dan menyenangkan sehingga murid merasa tertantang untuk mempelajari matematika. Guru juga dituntut untuk selalu berkreasi menciptakan metodemetode baru dan media agar murid menjadi lebih paham dan dengan senang hati terlibat dalam proses belajar mengajar. Bentuk kreativitas itu salah satunya memberikan pelajaran matematika di luar ruangan kelas, seperti halnya pelajaran seni tari dan seni lukis. Hal itu dapat menimbulkan suasana rileks bagi para pelajar.
Budi Utomo, Kepala SDN Mojo VIII, Karang Menjangan, Surabaya, menambahkan kebanyakan guru zaman sekarang hanya menyampaikan pelajaran dengan metode konvensional sehingga anak cenderung menghapal. Sekitar 40 sampai 50 persen anak, kata Budi, mengalami kesulitan dalam pelajaran berhitung, terutama dalam memahami soal cerita. Hal itu dikarenakan sebelumnya, dalam soal hitungan yang konkret, anak cenderung menghapal.
“Apabila anak merasa soal yang dihadapinya sulit, dia akan malas membaca soal sampai tuntas, apalagi mencoba mengerjakannya,” ujar dia. Oleh karena itu, diperlukan adanya metode bantu untuk merangsang nalar anak agar bisa membayangkan soal cerita. Meski faktor guru memegang peranan penting dalam keberhasilan pembelajaran matematika, faktor orang tua sebagai pendidik di rumah juga tidak dapat dinafikan begitu saja. Menurut Rudi, cara orang tua mendidik, memberikan penghargaan, atau menghukum akan memengaruhi prestasi anak.

Artinya, untuk meningkatkan kemauan belajar anak dalam mempelajari matematika, diperlukan dukungan penuh dari banyak pihak, terutama guru dan orang tua.
SB/L-2 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar